TELAAH TEORITIS KONSERVASI
A. Pengertian Konservasi
Menurut Danisworo (1995): ”Konservasi
adalah upaya untuk melestarikan,melindungi serta memanfaatkan sumber daya suatu
tempat, seperti gedung-gedungtua yang memiliki arti sejarah atau budaya,
kawasan dengan kepadatan pendudukan yang ideal, cagar budaya, hutan lindung dan
sebagainya”. Berarti, konserva si
jugamerupakan upaya preservasi dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu
sepertikegiataan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga
dapat membiayai sendiri kelangsungan eksistensinya.
Konservasi secara umum diartikan
pelestarian namun demikian dalam khasanah para pakar konservasi ternyata
memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda implikasinya. Menurut
Adishakti (2007) istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu
pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun
1981 yaitu : Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance,
Burra, Australia. Piagam ini lebih dikenal dengan Burra Charter
Dalam Burra Charter konsep konservasi
adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah
dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses pengelolaan
suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya
terpelihara dengan baik. Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih
spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan
konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan
situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila
dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian kota mencakup
suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang
tidak sesuai dan bukan secara fisik saja.
Gambar Bank Indonesia (BI)
Sumber : http://assets.kompasiana.com/statics/files/14147148421471712270.jpg?t=o&v=300
Kegiatan konservasi antara lain bisa
berbentuk (a) preservasi, (b) restorasi, (c) replikasi, (d) rekonstruksi, (e)
revitalisasi dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu, (f)
rehabilitasi. Aktivitas tersebut tergantung dengan kondisi, persoalan, dan
kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam upaya pemeliharaan lebih lanjut.
Masyarakat awam sering keliru bahwa pelestarian bangunan bersejarah diarahkan
menjadi ded monument (monumen statis) tetapi sebenarnya bisa dikembangkan
menjadi life monument yang bermanfaat fungsional bagi generasi masa sekarang.
B. Perluasan Tindakan Konservasi
Istilah-istilah lain :
1.Restorasi
(dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan fisik
suatu tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan
atau merakit kembali komponens eksisting tnap menggunakan material baru.
2.Restorasi
(dalam konteks terbatas) iala kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan
dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data
pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan
agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref.UNESCO.PP. 36/2005).
3.Preservasi
(dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu
tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari
proses kerusakan.
4.Preservasi
(dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang
intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan
cagar budaya agar keandalan kelaikan fungsinya terjaga baik (Ref. UNESCO.PP.
36/2005).
5.Konservasi
( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga
terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin
(karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi,
konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari
beberapa tindakan tersebut.
6.Konservasi
(dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan
dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan pengawasan
bahan yang digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar persyaratan teknis
bangunan terpenuhi. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
7.Rekonstruksi
ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki sekaurat
mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana
lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karenasalah
satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau
terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan
tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (Ref. UNESCO.PP.
36/2005).
8.Konsolidasi
ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat,
memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan
teknis banguna terpenuhi dan bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi bangunan
dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak
atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur.
9. Revitalisasi
ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang
optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan
lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota
lama untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah karena
kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005,
Ditjen PU-Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan).
10. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki
atau memulihkan kembali bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya ke bentuk
aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur yang bisa
dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, histories dan teknis. (Ref.
PP.36/2005). Kegiatan pemulihan arsietktur bangunan gedung dan lingkungan cagar
budaya yang disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya
secara fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.
Dari beberapa pengertian mengenai konservasi maka seharusnya memungkinkan
fungsi bangunan lama untuk dimanfaatkan untuk kegiatan baru yang lebih relevan
selain memungkinkan pula pengalihan kegiatan lama oleh aktivitas baru tanpa
harus menghancurkannya. Persoalan pelestarian bangunan tidak saja memfokuskan
pada arsitektur saja, tetapi secara kritis harus tanggap terhadap persoalan
sosial ekonomi budaya lingkungan tersebut.
Klasifikasi Bangunan Cagar Budaya:
Suatu bangunan dapat dikatakan sebagai bangunan konservasi atau cagar budaya
sehingga dikenai aturan untuk melestarikannya mengacu pada kriteria yang telah
ditentukan. Pasca monumen ordonansi yang dijadikan keketapan hukum pada jaman
pemerintahan Hindia Belanda maka pemerintah Republik Indonesia membuat Undang
Undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam UU no 5 tersebut
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah : (dalam Bab 1
pasal 1) yaitu : (1) Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang
berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa sisanya, yang
berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan
mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; (2) Benda alam yang
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan.
Gambar Lawang
Sewu Semarang
Sumber : https://adie62.files.wordpress.com/2012/07/lawwu.jpg
Adapun ” situs” adalah lokasi atau
lingkungan yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk
lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Dalam bab 1 pasal 2
menyebutkan sebagai berikut bahwa perlindungan benda cagar budaya dan situs
(lingkungannya) untuk bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk
memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Dalam Bab 2 Pasal 2 menyebutkan bahwa : (10 Semua benda cagar budaya dikuasai
oleh Negara, (2) Penguasaan benda cagar budaya meliputi benda cagar budaya yang
terdapat di wilayah hukum RI. Hal ini menjelaskan bahwa benda cagar budaya
tidak bisa dikatakan sebagai barang pribadi.
Dalam Bab 8 Pasal 26 menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja merusak
benda cagar budaya dan situs dan lingkungannya atau membawa, memindahkan,
mengambil, mengubah bentuk dan atau warna, memugar atau memisahkan benda cagar
budaya tanpa ijin dari pemerintah dapat dipidana dengan pidana penjara selama
lamanya 10 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 100 juta.
Pasal 27 menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja melakukan pencarian
benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan
cara menggali, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lain tanpa
ijin pemerintah dapat dipidana dengan pidana penjara selama 5 tahun dan atau
denda setingginya 50 juta.
Namun realitasnya pemerintah atau masyarakat sendiri mengalami kesulitan dalam
melakukan konservasi karena berbagai keterbatasan. Pertama, keterbatasan
pengetahuan dan wawasan mengenai konservasi. Tidak sedit benda cagar budaya
yang rusak disebabkan adanya niat baik tanpa dukungan pengetahuan memadai.
Tindakan yang ditujukan untuk memperbaiki atau mengembangkan fungsinya malah
dianggap merusak keaslian. Hal ini bisa diatasi dengan konsultasi pada
pihak-pihak yang berkompeten. Keberadaan lembaga nirlaba yang memberikan
konsultasi sangat membantu dan diharapkan supaya masyarakat tidak merasa ”
kesulitan ” untuk memelihara barangnya sendiri. Kedua, keterbatasan dana dalam
pelestarian yang biasanya harus mengeluarkan biaya ekstra dan lebih besar
dibandingkan dengan membangun biasa. Akibatnya pemilik merasa kerepotan sendiri
mengurusi benda cagar budaya dan kemudian membiarkan rusak agar bisa dibongkar
nantinya. Hal ini lazim terjadi sebagai alasan agar mereka tidak terkena
kewajiban melestarikannya. Ketiga, masalah regulasi dalam pelestarian yang
sering bersifat mengambang yang menyebabkan tidak ada rekomendasi praktis yang
bisa dikerjakan. Bila hal tersebut terjadi berlarut larut tanpa suatu
penyelesaian akan berakibat fatal.
Adapun kriteria obyek atau benda atau lingkungan atau kawasan sebagai bagian
dari kota yang yang harus dilestarikan sebagai berikut :
Menurut National Register of Historic Places, National Park Service US
Departement of Interior dan :
1. Obyek yang berkaitan dengan suatu momentum atau peristiwa signifikan baik
dari kesejarahan dan kebudayaan yang menandai perjalanan suatu bangsa. Gedung
Sumpah Pemuda, Istana Negara atau Katedral Jakarta. Bisa jadi bangunan tersebut
adalah lambang kejayaan kolonialisme pada masa lalu namun dalam pengertian
edukasi pada masa sekarang adalah suatu hasil yang bisa direbut kemerdekaan.
Seandainya belum merdeka tentu obyek tersebut berfungsi lain.
2. Kaitan dengan kehidupan tokoh atau
komunitas yang cukup penting dalam sejarah dan kebudayaan. Misal rumah Muhammad
Husni Thamrin adalah seorang Betawi anggota Volskraad yang vokal menyuarakan
kesejahteraan rakyat dilestarikan. Keberadaan rumah-rumah Betawi di Condet yang
menunjukkan bahwa pada masa itu merupakan lingkungan Betawi.
3. Obyek adalh wujud atau representasi
dari suatu karakter, karya, gaya, langgam, tipe, periode, teknologi, metode
pembangunan yang memiliki nilai artistik tinggi.
Kategori Obyek konservasi sebagai berikut :
1. Obyek keagamaan berupa peninggalan
arsitektur atau karya yang bernilai keagamaan.
2. Bangunan atau bentuk struktur yang telah dipindahkan dari lokasi eksisting
yang memiliki nilai signufican dalam arsitektur atau bentuk struktur yang masih
bertahan terkait dalam peristiwa sejarah tokoh tertentu.
3. Rumah, kantor atau ruang aktivitas atau makam tokoh terkenal dalam sejarah,
dengan catatan tidak ada tempat atau bangunan lain yang terkait dengan riwayat
hidupnya.
4. Bangunan pada masa tertentu yang memiliki keunikan desain, gaya atau
berkaitan dengan peristiwa sejarah tertentu.
5. Bangunan hasil rekonstruksi an merupakan satu-satunya bangunan yang dapat
diselamatkan.
6. Obyek berusia 50 tahun yang memberi nilai yang cukup significan atau
pengecualian yang dianggap penting.
Sumber
: