Selasa, 10 Januari 2012

Etnoterisme, Diskriminasi dan Prasangka


Tugas ISD ke-4 (Etnoterisme, diskriminasi dan prasangka)

ETNOSENTRISME
Teori Etnosentrisme
William Graham Sumner menilai bahwa masyarakat tetap memiliki sifat heterogen ( pengikut aliran evolusi).
Menurut Sumner (1906), manusia pada dasarnya seorang yang individualis yang cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri sendiri sehingga menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistic (pertentangan yang menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat dicegah maka perlu adanya folkways yang bersumber pada pola-pola tertentu.
Pola-pola itu merupakan kebiasaan (habits), lama-kelamaan, menjadi adat istiadat (customs), kemudian menjadi norma-norma susila (mores), akhirnya menjadi hukum (laws). Kerjasama antarindividu dalam masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation (kerjasama antarpihak yang berprinsip pertentangan). Akibatnya, manusia mementingkan kelompok dan dirinya atau orang lain. Lahirlah rasa ingroups atau we groups yang berlawanan dengan rasa outgroups atau they groups yang bermuara pada sikap etnosentris.
Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkwaysnya yang paling unggul dan benar. Seperti yang dikutip oleh LeVine, dkk (1972), teori etnosentrisme Sumner mempunyai tiga segi, yaitu: (1) sejumlah masyarakat memiliki sejumlah ciri kehidupan sosial yang dapat dihipotesiskan sebagai sindrom, (2) sindrom-sindrom etnosentrisme secara fungsional berhubungan dengan susunan dan keberadaan kelompok serta persaingan antarkelompok, dan (3) adanya generalisasi bahwa semua kelompok menunjukkan sindrom tersebut. Ia menyebutkan sindrom itu seperti: kelompok intra yang aman (ingroups) sementara kelompok lain (outgroups) diremehkan atau malah tidak aman.
Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolute dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan sikap prasangka dan streotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain.
Komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentrisme seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya, ada banyak variable yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbuadaya, salah satunya adalah sikap. Sikap mempengaruhi komunikasi antarbuadaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme , pandangan hidup , nilai-nilai yang absolute, prasangka, dan streotip.


Aplikasi Teori Etnosentrisme pada Fenomena Sosial di Indonesia 
Konflik dan Kepentingan Sosial
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki potensi untuk terjadinya perpecahan. Hal ini terjadi karena adanya sikap etnosenris dan memandang kelompok lain dengan ukuran yang sama-sekali tidak ada konsesus atasnya. Terdapat lebih dari 200 suku dan 300 bahasa. Sehingga Indonesia adalah negara yang sangat kaya ada-istiadat. Namun, kekayaan itu akan menjadi lumpuh ketika perbedaan di antaranya tidak diperkuat oleh sikap nasionalisme. Hal bisa dilhat dari banyaknya konflik antaretnis di tahun 1990-an. Seperti tragedi Sampit, antar suku Madura dan Dayak. Dimana terdapat kecemburuan ekonomi anatar Madura sebagai pendatang dan Dayak sebagai penduduk asli. Tragedi Pos, Ambon, dan Perang adat di Papua.
Sebagai contoh di Papua. Seperti yang diberitakan Kompas Juli 2002, ada 312 suku yang menghuni Papua. Suku-suku ini merupakan penjabaran dari suku-suku asli yaitu Dani, Mee, Paniai, Amungme, Kamoro, biak, Ansus, Waropen, Bauzi, Asmat, Sentani, Nafri, Meyakh, Amaru, dan Iha. Setiap suku memiliki bahasa daerah (bahasa ibu) yang berbeda. Sehingga saat ini tedapat 312 bahasa di sana.
Tempat-tempat pemukiman suku-suku di Papua terbagi secara tradisional dengan corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya sendiri. Suku-suku yang mendiami pantai, gunung, dan hutan memiliki karakteristik kebudayaan dan kebiasaan berbeda.. Hal ini pula berimbas pada nilai, norma, ukuran, agama, dan cara hidup yang beranekaragam pula.
Keanekaragaman ini sering memicu konflik antarsuku. Misalnya yang terjadi pada tahun 2001, dimana terdapat perang adat antara suku Asmat dan Dani. Masing-masing-masing-masing suku merasa sukunyalah yang paling benar dan harus dihormati. Perang adat berlangsung bertahun-tahun. Karena sebelum adanya salah satu pihak yang kalah atau semkain kuat danmelebihi pihak yang lain, maka perang pun tidak akan pernah berakhir.
Fenomena yang sama juga banyak terjadi di kota-kota besar misalnya Yogyakarta. Sebagai kota multiultur, banyak sekali pendatang dari penjuru nusantara dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda Masig-masing-masing membawa kepentingan dan nilai dari daerah masing-masing. Kekhawatiran yang keudan muncul adalah adalnya sentiment primordial dan etnosentris. Misalnya mahasiswayang berasal dari Medan (suku Batak) akan selalu berkras pada pendirian dan sikap yang menyebut dirinya sebagai orang yang tegas, berpendirian, dan kasar (kasar dalam artian tegas). Sedangkan Melayu dikatakan pemalu, relijius, dan merasa lebih bisa diterima di mana pun berada. Sedangkan Jawa, akibat pengaruh orde baru, menganggap dirinya paling maju dari daerah lain. Sehingga ketika berhubungan dengan orang luar Jawa, maka stigma yang terbentuk adalah stigma negatif seperti malas, kasar, dan pemberontak.

DISKRIMINASI
A.    Teori Diskriminasi Hukum donald Black
Donald Black menginformasikan pembaca langsung bahwa perspektifnya adalah sosiologis. Dia prihatin dengan “kehidupan sosial” yang berarti bagaimana masyarakat berperilaku. Penjelasan-Nya itu akan menggunakan faktor sosiologis.Kira-kira, faktor sosiologis mewakili tingkat makro fitur dan dimensi sepanjang yang diselenggarakan masyarakat. Ada banyak dari mereka. Ia mengumumkan dimensi masyarakat yang akan menarik baginya:
1.  dimensi vertikal, yang sesuai dengan status sosial ekonomi (SES) atau kelas sosial;
2. dimensi horizontal,sesuai dengan ras, suku, dan status kelahiran asli vs lahir di negeri asing;
3. budaya, sesuai denagan kesopanan; 4. struktur organisasi, jika salah satu pihak yang bersengketa atau kejahatan adalah kelompok, atau jika kedua belah pihak adalah kelompok, tingkat ukuran dan organisasi kelompok atau kelompok akan sangat penting, dan
5. kontrol sosial, yang mengacu pada cara orang mendapatkan orang lain untuk menginap sesuai tanpa menyerukan hukum.
Black memperkenalkan dimensi vertikal masyarakat, ia mengatakan “Hukum bervariasi secara langsung dengan stratifikasi”. Black menggunakan jarak istilah untuk merujuk pada jarak sosiologis mereka dari satu sama lain. pemisahan itu berlangsung sepanjang dimensi vertikal SES, dan ia mengacu pada ini sebagai “jarak vertikal”. Black daun titik ini tersirat. Kejahatan memiliki arah. Jika korban SES tinggi (orang bisnis kaya) dan pelaku SES rendah (tunawisma menganggur), kejahatan memiliki arah ke atas. Anda dapat menggambarkannya sebagai kejahatan atas. Hal ini diprakarsai oleh orang SES rendah terhadap milik orang SES tinggi. Hitam berbicara tentang “hukum ke atas” dan “hukum ke bawah”.
Negara bertindak atas nama korban, dan menghukum pelaku. Jadi hukum akan “dari” korban “untuk” pelaku, dan itu adalah negara yang menerapkan hukum atas nama korban. Jadi jika negara adalah menghukum orang tunawisma untuk kejahatan yang dilakukan terhadap orang bisnis kaya, ini adalah hukum ke bawah untuk ke atas kejahatan. Black juga mengatakan secara tersirat, Hukum berperilaku atas nama korban. Korban itu mungkin seorang individu, kelompok, organisasi, atau negara itu sendiri. Arah di mana hukum diterapkan adalah berlawanan dengan arah kejahatan itu sendiri. Jadi jika kejahatan itu “bergerak” ke atas hukum akan bergerak ke arah yang berlawanan, ke bawah.
Black tergelincir dalam titik kunci yang mudah untuk mengabaikan: “ke atas kejahatan lebih serius daripada kejahatan ke bawah.” Black mengatakan “hukum ke bawah lebih besar daripada hukum ke atas” ia mengatakan bahwa jika ada suatu kejahatan ke atas, akan terlihat sebagai lebih serius, dan hukum lebih akan dikirim – beberapa lebih mungkin untuk mendapatkan ditangkap, lebih mungkin dihukum , lebih mungkin untuk mendapatkan hukuman lebih lama – karena arah hukum adalah ke bawah.
Jika permusuhan antara pihak status yang lebih tinggi, hukum lebih akan dikirim. Jika antara dua pihak SES rendah, hukum mungkin sedikit akan dikirimkan. Dalam membuat titik ini, Black tampaknya membingungkan jumlah hukum yang disampaikan oleh sebuah lembaga negara, seperti polisi atau hakim, dan kemampuan orang yang berbeda untuk merasakan theseriousness berbagai kejahatan; meskipun perbedaan, bagaimanapun, ada juga kesepakatan substansial seluruh masyarakat tentang keseriusan relatif kejahatan yang berbeda. Poin penting adalah bahwa norma ada dan berlaku secara umum jika bukan anggota kelompok yang paling mematuhi itu.
B. Contoh-contoh Diskriminasi dalam kehidupan sosial

Munculnya prilaku diskriminasi lebih disebabkan oleh adanya penyimpangan ndividual.Penyimpangan ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah mengabaikan dan menolak norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.Orang seperti itu biasanya mempunyai kelainan/mempunyai penyakit mental sehingga tak dapat mengndalikan dirinya.

Bentuk dan contoh diskriminasi antara lain :
a.       Membedakan/pilih kasih terhadap semua manusia
Membedakan/pilih kasih terhadap semua manusia dan memperlakukan setiap orang secara tidak setara.Rasulallah tidak pernah membedakan/pilih kasih terhadap semua manusia dan beliau memperlakukan setiap orang secara setara.Nabi bersabda yang artinya:”Sesungguhnya allah tidak melihat kepada tubuhmu/parasmu.akan tetapi dia melihat kepada hati dan kelakuan mu”.Sebagai makhluk bermoral manusia bertindak sesuai dengan prinsip moralitas.Oleh karena itu menurut sudut pandang sosiologi,sampai kapanpun setiap manusia menginginkan adanya kebersamaan,bersatu dan terpadu.
  1. Membedakan orang lain berdasarkan SARA
Manusia yang secara fitrah diciptakan dengan memiliki keragaman.Diharapkan dapat saling mengenal,dengan cara ini akan muncul pemahaman untuk saling mengakui kesamaan.Sehingga pada akhirnya sikap diskriminasi dapat terhindari.
Firman allah dalam Q.S al-hujurat:13,yang artinya :”Hai manusia,sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki da seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.Sesungguhnya allah maha mengetahui lagi mah mengenal”.
  1. Mengutamakan kepentingan diri sendiri dan sanak saudaranya.
Dalam hidup ini kepada manusia diperkenalkan ada hak dan kewajban yang harus dipenuhi secara seimbang.Dalam kenyataan hidup banyak orang yang justru menuntut hak.Sementara  berbagai kewajiban cenderung di abaikan. 

PRASANGKA
A. Definisi Prasangka Sosial
Prasangka sosial (social prejudice) merupakan gejala psikologi sosial. Prasangla sosial ini merupakan masalah yang penting dibahas di dalam intergroup relation. Prasangka sosial atau juga prasangka kelompok  yaitu suatu prasangka yang diperlihatkan anggota-anggota suatu kelompok terhadap kelompok-kelompok lain termasuk di dalamnya para anggotanya.
Beberapa ahli meninjau pengertian prasangka sosial dari berbagai sudut :
1.      Feldman (1985)
Prasangka sosial adalah sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu yang hanya didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok itu.
2.      Mar’at (1981)
Prasangka sosial adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai positif atau negative tetapi dugaan itu lebih bersifat negative.
3.      Kimball Young
Prasangka adalah mempunyai ciri khas pertentangan antara kelompok yang ditandai oleh kuatnya ingroup dan outgroup.
4.      Sherif and Sherif
Prasangka sosial adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti kepada kelompok lain beserta anggotanya.
Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut mempunyai kecenderungan bahwa prasangka sosial adalah suatu sikap negatif yang diperlihatkan oleh individu atau kelompok terhadap individu lain atau kelompok lain.
Prasangka sosial berhubungan dengan deskriminasi karena definisi prasangka sosial sendiri cenderung mengarah ke hal negatif dalam suatu kelompok. Menurut Sears,dkk (1991) bahwa deskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang berdasarkan (atau setidaknya dipengaruhi oleh) keanggotaan kelompoknya. Deskriminasi dapat diwujudkan dalam bentuk perlakuan yang berbeda yang didasarkan pada kelompok. Dapat juga dilakukan dengan perilaku menyerang atau menyakiti anggota kelompok lain.
B. Penjelasan mengenai Prasangka Sosial
Sebuah contoh mengenai prasangka sosial adaalh attitude orang Jerman terhadap keturunan Yahudi di negaranya  sejak akhir abad ke-19 dan mencapai puncaknya pada masa Jerman-Hitler dengan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk memberantas keturunan Yahudi di sana.
Gejala-gejala dan peristiwa –peristiwa yang bercorak tindakan-tindakan deskriminatif terhadap segolongan manusia tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi-pribadi orang itu satu persatu yang membenarkan tindakan diskriminatif sepeti itu menunjukkan adanya prasangka sosial pada orang-orang yang berbuat demkian. Adanya prasangka sosial itu dapat ditunjukkan pada berbagai masyarakat merdeka di dunia. ( Dalam masyarakat kolonial, prasangka sosial itu sudah mendarah-daging di mana kaum penjajah dengan konsekuen memupuk prasangka sosialnya terhadap kaum yang dijajah demi kelangsungan penjajahannya).
Misalnya, di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat masih terdapat gejala antisemitisme atau anti-Yahudi walaupun tindakan-tindakan diskriminatifnya tidak sekejam yang terjadi di Jerman pada masa Hitler. Lebih nyata bahwa di Ameriaka Serikat terdapat prasangka sosial terhadap golongan Negro, terutama di bagian selatan. Hal itu merupakan pokok perjuangan utama kaum Negro dan bukan Negro yang telah sadar untuk menghilangkannya. Akan tetapi di Indonesia, pernah terjadi cetusan-cetusan tidak wajar yang merupakan tindakan diskriminatif terhadap golongan ketirunan Cina, seperti peristiwa Malari di Bandung tahun 1974.
Bahwasannya tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka sosial merugikan masyarakat negara itu sendiri, sudah jelas pula karena dengan demikian perkembangan potensi-potensi manusia masyarakat itu sendiri sangat dihambat. Maka, di negara-negara yang bersangkutan telah pula diupayakan untuk mengubah dan menghilangkan prasangka-prasangka sosial yang picik dan yang menghambat perkembangan masyarakat dengan wajar.
1.1.Stereotip
Adanya prasangka sosial bergandengan pula dengan stereotip yang merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip megenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenai prasangka tersebut . Biasanya, stereotip terbentuk padanya berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif. Gambaran stereotip tidak mudah berubah serta cenderung untuk dipertahankan oleh orang berprasangka. Meskipun demikian stereotip dan prasangka sosial dapat berubah dengan usaha-usaha intensif secara langsung karena perubahan masyarakat secara umumnya, misalnya karena peperangan atau revolusi.
1.2.Etnosentrisme dan Favoritisme
Etnosentrisme adalah paham yang menempatkan kelompok sendiri sebagai  pusat segala-galanya. Favoritisme adalah pandangan yang menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, paling bermoral.
Etnosentrisme merupakan manifestasi dari perasaan superior kelompok tersebut. Pemisahan ini akan menyebabkan timbulnya favoritisme terhadap kelompok sendiri dan diskriminasi terhadap kelompok luar. Adanya pengelompokan tersebut membuat anggota kelompok lebih banyak berkomunikasi dengan anggota kelompok sendiri dan kurang sekali berkomunikasi dengan anggota kelompok luar. Kurangnya komunikasi dengan kelompok luar akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap kelompok luar. Bentuk kesalahpahaman tersebut adalah hadirnya stereotip dan prasangka sosial. Stereotip adalah anggapan tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar.Ciri ini biasanya hanyalah anggapan semata yang belum tentu sesuai dengan hal yang sebenarnya. Prasangka adalah sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial.
C. Teori-Teori Prasangka Sosial
1.      Teori Konflik Kelompok
Bila dua kelompok bersaing, mereka saling mengancam. Hal ini menimbulkan permusuhan diantara mereka dan keadaan demikian menciptakan penilaian negatif yang bersifat timbal balik . Jadi, prasangka merupakan konsekuensi dari konflik nyata yang tidak dapat dielakkan. LeVine dan Campbell (1972) menyebutnya sebagai konflik kelompok yang realistis. Kadang-kadang dua kelompok berada dalam situasi dimana mereka bersaing untuk memperebutkan sumber langka yang sama.
2.      Teori Belajar Sosial
Prasangka adalah sesuatu yang dipelajari seperti orang-orang belajar nilai-nilai sosial yang lain. Prasangka diperoleh anak-anak melaui sosialisasi. Misalnya, sebelum remaja anak Melayu (Malaysia) mengamati masyarakat di mana ia tinggal bahwa orang Melayu secara sosial lebih tinggi di berbagai hal dibanding orang keturunan India.
3.      Teori Kognitif
Dalam mengamati orang lain, seseorang mencoba mengembangkan kesan yang terstruktur tentang orang lain. Seseorang melakukan proses kategorisasi . Kategorisasi seringkali hanya didasarkan pada isyarat yang sangat jelas dan menonjol. Warna kulit, bentuk tubuh, logat bahasa, dijadikan dasar penggolongan. Prasangka muncul karena adanya perbedaan antara “kelompok kami” (ingroup) dan “kelompok mereka” (outgroup).
4.      Teori Psikodinamika
Prasangka adalah agresi yang dialihkan. Pengalihan terjadi bila sumber frustasi tidak dapat diserang karena rasa takut dan frustasi itu benar-benar tidak ada. Dalam kondisi semacam ini, orang mencari kambing hitam yang dapat dipersalahkan dan dierang.
D. Ciri-Ciri Prasangka Sosial
Brighman (1991) menjelaskan prasangka sosial menjelaskan tentang ciri-ciri prasangka sosial bahwa individu mempunyai kecenderungan untuk membuat kategori sosial (social categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua kelompok, yaitu “kelompok kita” (ingroup) dan “kelompok mereka” (outgroup). Ingroup adalah kelompok sosial di mana individu merasa dirinya dimilki atau memiliki  (“kelompok kami”). Sementara outgroup adalah grup di luar grup sendiri (“kelompok mereka”).
Apabila perasaan ingroup dan outgroup menguat, maka kan muncul :
Pertama, proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain. Jika seorang individu dari kelompok luar berbuat hal negatif, maka akan digeneralisirkan pada semua anggota kelompok luar. Bila anggota kelompok luar berbuat curang, maka semua anggota kelompok itu dianggap berbuat hal yang sama. Penilaian serupa tidak terjadi pada perilaku anggota kelompok sendiri. Bila salah seorang anggota kelompok sendiri berbuat curang, maka kecurangan tersebut tidak akan digeneralisir pada anggota kelompok lain (Ancok & Suroso, 1995).
Kedua, adanya kompetisi sosial. Anggota kelompokmeningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain dan menganggap kelompok sendiri labih baik dari kelompok lain.
Ketiga, adanya penilaian yang sangat ekstrim terhadap anggota kelompok lain. Informasi yang dimiliki individu baik yang berkaitan dengan hal yang positif maupun yang negatif terlalu dibesar-besarkan.
Keempat, adanya pengaruh persepsi yang selektif dan pengaruh ingatan masa lalu. Apabila seseorang memiliki stereotip yang relevan akan langsung dipersepsikan secara negatif.
Kelima, adanya perasaan frustasi atau scape goating, yaitu adanya rasa frustasi seseorang sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuan menghadapi kegagalan (Brigman, 1991). Adanya  kekecewaan akibat persaingan antara masing-masing individu dan kelompok menjadikan seseorang mencari mengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada objek lain. Objek lain biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dirinya sehingga individu mudah berprasangka.
Keenam, adanya agresi antar kelompok. Cara berpikir yang realis akan cenderung menyebabkan munculnya  perilaku agresif.
Ketujuh, adanya dogmatisme, yaitu sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah tertentu, salah satunya adalah tentang kelompok lain.
Perkembangan prasangka sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstrem pribadi orang, tetapi terdapat pula beberapa factor intern dari pribadi orang yang mempermudah terbentuknya prasangka sosial padanya. Menurut beberapa penelitian psikologi, terdapat beberapa ciri pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara lain pada orang-orang yang berciri tidak toleransi, kurang mengenal akan dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman, memupuk khalayan-khalayan yang agresif dan lain-lain.
E. Sebab- Sebab dan Sumber-Sumber Timbulnya Prasangka Sosial
Orang tidak begitu saja secara otomatis berprasangka terhadap orang lain. Tetapi ada factor-faktor tertentu yang menyebabkan ia berprasangka. Prasangka di sini berkisar pada masalah yang bersifat negatif pada orang (kelompok) lain. Ada beberapa factor yang menyebabkan timbulnya prasangka.
1)      Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam. Dalam berusaha, seseorang mengalami kegagalan atau kelemahan. Sebab dari kegagalan itu tidak dicari pada dirinya sendiri tetapi pada orang lain. Orang lain inilah yang dijadikan kambing hitam sebagai sebab kegagalannya.
2)      Orang berprasangka, karena memang ia sudah dipersiapkan di dalam lingkungannya atau kelompoknya untuk berprasangka.
3)      Prasangka timbul karena adanya perbedaan, di mana perbedaan ini menimbulkan perasaan superior. Perbedaan di sini bisa meliputi :
a.       Perbedaan fisik/biologis, ras
Misalnya : Amerika Serikat dengan Negro
b.      Perbedaan lingkungan/ geografis
Misalnya : orang kota dan orang desa
c.       Perbedaan kekayaan
Misalnya : orang kaya dan orang miskin
d.      Perbedaan status sosial
Misalnya : majikan dan buruh
e.       Perbedaan kepercayaan/agama
f.       Perbedaan norma sosial, dsb.
4)      Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tidak menyenangkan.
5)      Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum atau kebiasaan di dalam lingkungan tertentu.
Prasangka sosial tidak dibawa sejak dilahirkan tetapi terbentuk selama perkembangannya, baik melalui didiakn maupun dengan cara identifikasi dengan orang-orang lain.Dalam beberapa penelitian dan observasi tampak bahwa di sekolah-sekolah internasional tidak terdapat sedikitpun prasangka sosial pada anak-anak sekolah yang berasal dari bermacam-macam golongan rasa tau kebudayaan. Mereka baru akan memperolehnya di dalam perkembangannya apabila mereka bergaul erat dengan orang-orang yang berprasangka sosial. Dan hal ini berlangsung secara sendirinya dan pada taraf tidak sadar malalui proes-proses imitasi , sugesti, identifikasi dan simpati yang memegang peranana utama di dalam interaksi itu. Sementara itu, secara tidak sadar mereka lambat laun mungkin memperoleh sikap-sikap tertentu terhadap golongan-golongan tertentu yang lambay laun dapat melahirkan stereotip-stereotip.
Selain itu, adapula satu factor yang dapat mempertahankan adanya prasangka sosial seperti yang dapat berkembang secara tidak sadar itu, yaitu factor ketidaksadaran (ketidakinsyafan) akan kerugian-kerugian masyarakat apabila prasangka itu dipupuk terus-menerus, yang mudah terjelma dalam tindakan-tindakan diskriminatif.